MENGAPA ANAK YANG PINTAR DI SEKOLAH BISA ALAMI KESULITAN EKONOMI?
Oleh : Rhenald Kasali
Sebuah tweet Rhenald Kasali (@RhenaldKasali )Kamis, 3 April 2014 pk. 06.52 membuat saya merenung. Mungkin ini juga bisa jadi modal renungan bagi teman-teman yang saat ini sedang belajar atau mengajar atau minimal mengajar di keluarganya masing-masing.
Seorang mahasiswi mengeluh. Dari SD hingga lulus S-1, ia selalu juara. Namun kini, di program S-2, ia begitu kesulitan menghadapi dosennya yang menyepelekannya. Judul tesisnya selalu ditolak tanpa alasan yang jelas. Kalau jadwal bertemu dibatalkan sepihak oleh dosen, ia sulit menerimanya. Sementara itu, teman-temannya yang cepat selesai, jago mencari celah. Ia menduga, teman-teman yang tak sepintar dirinya itu “ada main” dengan dosen-dosennya. “Karena mereka tak sepintar aku,” ujarnya.
Banyak orang tua yang belum menyadari, dibalik nilai-nilai tinggi yang dicapai anak-anaknya semasa sekolah, mereka menyandang peersolan besar : kesombongan dan ketidakmampuan menghadapi kesulitan. Bila hal ini saja tidak bias diatasi, maka masa depan ekonominya pun akan sulit. Mungkin inilah yang perlu dilakukan orang tua dan kaum muda : belajar menghadapi realitas dunia orang dewasa, yaitu kesulitan dan rintangan.
HADIAH ORANG TUA
Psikolog Stanford University, Carol Dweck, yang menulis temuan dari eksperimennya dalam buku The New Psychology of Success, menulis, “Hadiah terpenting dan terindah dari orang tua pada anak-anaknya adalah tantangan:. Apakah itu kesulitan hidup, rasa frustasi dalam memecahkan masalah, sampai kegagalan “membuka pintu”, jatuh bangun di usia muda. Ini berbeda dengan pandangan banyak orang tua yang cepat-cepat ingin mengambil masalah yang dihadapi anak-anaknya. Kesulitan belajar mereka biasanya kita atasi dengan mendatangkan guru-guru les, atau bahkan menyuap sekolah dan guru-gurunya. Bahkan, tak sedikit pejabat mengambil alih tanggung jawab anak-anaknya ketika menghadapi proses hukum karena kelalaian mereka di jalan raya. Kesalahan mereka membuat kita resah. Masalah mereka adalah masalah kita, bukan milik mereka. Termasuk didalamnya adalah rasa bangga orang tua yang berlebihan ketika anak-anaknya mengalami kemudahan dalam belajar dibanding rekan-rekannya di sekolah.
Berkebalikan dengan pujian yang dibangga-banggakan, Dweck malah menganjurkan orang tua untuk mengucapkan kalimat seperti ini : “Maafkan Ibu telah membuat segala sesuatu terlalu gampang untukmu, Nak. Soal ini kurang menarik. Bagaimana kalau kita coba yang lebih menantang?” Jadi, dari kecil, saran Dweck, anak-anak harus dibiasakan dibesarkan dalam alam yang menantang, bukan asal gampang atau digampangkan.
Pujian boleh untuk menyemangati, bukan membuatnya selalu mudah.
Saya teringat masa-masa muda dan kanak-kanak saya yang hampir setiap saat menghadapi kesulitan dan tantangan. Kata reporter sebuah majalah, saya ini termasuk “Bengal”. Namun ibu saya bilang, saya kreatif. Kakak-kakak saya bilangsaya bandel. Namun, otak saya bilang “selalu ada jalan keluar dari setiap kesulitan”. Begitu memasuki dunia dewasa, seorang anak akan melihat dunia yang jauh berbeda dengan masa kanak-kanak.
Dunia orang dewasa, sejatinya, banyak keanehannya, tipu-tipunya. Hal gampang bisa dibuat menjadi sulit. Namun, otak saya selalu ingin membaliknya. Demikianlah, hal-hal sepele sering dibuat orang menjadi masalah besar. Banyak ilmuwan pintar, tetapi reaktif dan cepat tersinggung. Demikian pula kalau orang sudah senang, apa pun yang kita inginkan selalu bisa diberikan.
PANGGUNG ORANG DEWASA
Dunia orang dewasa itu adalah sebuah panggung besar dengan unfair treatment yang menyakitkan bagi mereka yang dibesarkan dalam kemudahan dan alam yang protektif. Kemudahan-kemudahan yang didapat pada usia muda akan hilang begitu seseorang tamat SMU. Di dunia kerja, keadaan yang lebih menyakitkan akan mungkin lebih banyak lagi ditemui. Fakta-fakta akan sangat mudah anda temui bahwa tak semua orang, yang secara akademis hebat, mampu menjadi pejabat atau CEO. Jawabannya hanya satu : hidup seperti ini sungguh menantang. Tantangan-tantangan itu tak boleh membuat seseorang cepat meyerah atau secara defensive menyatakan para pemenang itu “bodoh”, tidak logis, tidak mengerti, hanya akan menunjukkan ketidakberdayaan belaka. Dan pernyataan ini hanya keluar dari orang pintar yang miskin perspektif, dan kurang menghadapi ujian yang sesungguhnya.
Dalam banyak kesempatan, kita menyaksikan banyak orang-orang pitar menjadi tampak bodoh karena ia memang bodoh mengelola kesulitan. Ia hanya pandai berkelit atau ngoceh-ngoceh di belakang panggung, bersungut-sungut karena kini takada lagi orang dewasa yang mengambil alih kesulitan yang ia hadapi.
Di Universitas Indonesia, saya membentuk mahasiswa-mahasiswa saya agar berani menghadapi tantangan dengan cara satu orang pergi ke satu Negara tanpa ditemani satu orangpun agar berani menghadapi kesulitan, kesasar, ketinggalan pesawat, atau kehabisan uang. Namun lagi-lagi orang tua sering mengintervensi mereka dengan mencarikan agent, memberikan paket Tur, uang jajan dalam jumlah besar, menitipkan perjalanan pada teman di luar negeri, menyediakan penginapan yang aman, dan lain sebagainya. Padahal, anak-anak itu haanya butuh satu kesempatan : bagaimana menghadapi kesulitan dengan caranya sendiri.
Hidup yang indah adalah hidup dalam alam sebenarnya, yaitu alam yang penuh tantangan. Dan inilah esensi perekonomian abad ke-21 : bergejolak, ketidakpastian, dan membuat manusia menghadapi ambiguitas. Namun dalam kondisi seperti itulah sesungguhnya manusia berpikir. Dan ketika kita berpikir, tampaklah pintu-pintu baru terbuka, saat pintu-pintu hafalan kita tertutup. Jadi inilah yang mengakibatkan banyak sekali orang pintar sulit dalam menghadapi kesulitan. Maka dari itu, pesan Carol Dweck, dari apa yang saya renungi, sebenarnya sederhana saja : Orang tua, jangan cepat-cepat merampas kesulitan yang dihadapi anak-anakmu. Sebaliknya, berilah mereka kesempatan untuk menghadapi tanntangan dan kesulitan.
*diposting di Grup ODOJ 401