PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM KESEHATAN
REPRODUKSI
PENDAHULUAN
Kesetaraan perempuan
dan laki-laki telah
menjadi pembicaraan hangat dalam
beberapa dasawarsa terakhir. Melalui
perjalanan panjang untuk
meyakinkan dunia bahwa perempuan
telah mengalami diskriminasi
hanya karena perbedaan
jenis kelamin, dan perbedaan
secara sosial (gender),
akhirnya pada tahun
1979 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui Konvensi mengenai
penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan. Konvensi
ini lebih dikenal dengan istilah
CEDAW (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) dan menjadi
acuan utama untuk
Hak Asasi Perempuan (HAP). Konvensi
ini sebenarnya telah diratifikasi oleh
Indonesia pada tahun 1984
menjadi UU No.
7/1984, tetapi tidak tersosialisasikan dengan
baik oleh negara.
Pelayanan kesehatan
perempuan Indonesia masih terus
diperjuangkan agar mendapat perhatian setara
dan tidak dinomorduakan. Berdasarkan data SDKI 2007, Angka Kematian Ibu
(AKI) di Indonesia yaitu 228 per
100.000 kelahiran hidup.
Jika mengacu pada target Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 sebesar
102 per 100.000 kelahiran hidup, pemerintah perlu bekerja keras mewujudkan
target tersebut. Penyebab kematian ibu selain karena perdarahan, preeklampsia/eklamsia
dan infeksi, juga adalah tingginya paritas seorang ibu yang diikuti rendahnya akses
terhadap pelayanan kesehatan. Angka
kematian ibu ini
dapat dijadikan indikator
rendahnya pelayanan kesehatan yang diterima ibu dan anak serta rendahnya
akses informasi yang dimiliki ibu dan anak.
Wanita
di Indonesia juga dibebani dengan tugas dan tanggung jawab reproduksi. Hasil
SDKI 2007 menunjukkan lebih dari 95% pengguna alat kontasepsi pada Pasangan
Usia Subur (PUS) adalah wanita yang berarti tingkat keterlibatan laki-laki
dalam upaya kesehatan reproduksi amat rendah padahal laki-laki/suami memiliki hak yang setara dengan
perempuan/istri. Hal ini menunjukkan
bahwa pemerintah belum serius
dan merata dalam
pemberian pelayanan kesehatan
khususnya bagi perempuan.
Menurut
penelitian Fatimaningsih (2008), kualitas perempuan dalam bidang kesehatan
menuntut untuk ditingkatkan. Indikator yang perlu diperhatikan adalah
terbatasnya sarana dan prasarana yang mudah terjangkau perempuan, baik untuk
pencegahan penyakit maupun pengobatan. Kondisi ini membuat ketergantungan
perempuan pada laki-laki untuk pengambilan keputusan yang berdampak pada
kesehatan perempuan masih tinggi. contohnya penentuan untuk ke dokter,
keikutsertaan KB, penanganan gagal KB, periksa kehamilan, hingga persalinan,
dan lain sebagainya.
Rendahnya
kualitas kesehatan perempuan masih terasa pula akibat dari konstruksi budaya
yang menempatkan kualitas gizi untuk anak laki-laki dan suami jauh lebih
penting daripada anak perempuan. Permasalahan lain yang perlu dicermati adalah
rendahnya pemahaman perempuan tentang kesehatan reproduksi (Fatimaningsih,
2008).
PEMBAHASAN
Pemberdayaan
perempuan adalah upaya pemampuan perempuan untuk memperoleh akses dan control
terhadap sumber daya, ekonomi, politik, social, budaya, agar perempuan dapat
mengatur diri dan meningkatkan rasa percaya diri untuk mampu berperan dan
berpartisipasi aktif dalam memecahkan masalah, sehingga mampu membangun
kemampuan dan konsep diri (Saptandari, 2010).
Menurut
PBB , pemberdayaan perempuan memuat 5 (lima) komponen yang harus terpenuhi
yaitu peningkatan kepercayaan diri perempuan, hak perempuan untuk memiliki dan
mengambil keputusan, hak mendapatkan
akses dan control terhadap sumber daya dan kesempatan, hak berkarir di dalam maupun di luar rumah dan
hak berperan pada perubahan sosial (PBB, 2003)
Pedoman
pemberdayaan perempuan PBB terkait pemenuhan hak reproduksi sehat seorang
wanita menyatakan bahwa focus kegiatan pemberdayaan peremuan terletak pada
upaya promosi reproduksi dan perilaku seks yang sehat serta pemenuhan hak
reproduksi wanita dan remaja putri (PBB, 2003)
Beberapa
permasalahan dalam pemberdayaan kesehatan perempuan di Indonesia adalah:
1. Minimnya
perencanaan membentuk keluarga
Menikah, mengandung dan melahirkan dalam pandangan
sebagian besar masyarakat di Indonesia merupakan kodrat perempuan,
sehingga menepiskan upaya perencanaan
keluarga. Seorang perempuan dikatakan sempurna bila telah menikah dan memiliki
anak sehingga tugas perempuan adalah mengandung, melahirkan dan mengasuh anak
(Khasanah, 2010).
2. Meningkatnya
jumlah kasus HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual (PMS)
Menurut
estimasi WHO, sampai
dengan Juni 2000
terdapat sekitar 34,3 juta
orang dewasa dan
anak mengidap HIV/AIDS
dan lebih dari
18 juta yang meninggal. Ternyata
95% dari jumlah
tersebut berada di
negara berkembang, 52 ribu kasus
terjadi di Indonesia. Dari kasus HIV/AIDS di Indonesia tersebut, 70 persen adalah
ibu rumah tangga
yang menjadi korban
tidak langsung dari penyebaran HIV
ini (laki-laki sebagai
penyebar potensial
tertinggi). Hal terjadi
karenan infeksi HIV
di seluruh dunia
terjadi melalui hubungan seks
antara laki-laki dan perempuan. Dan hampir 80% perempuan yang mengidap HIV/AIDS
hanya berhubungan dengan satu pria, suaminya (Jalil, 2010)
Terkait dengan pemberdayaan perempuan, permasalahan
peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS dan PMS terjadi salah satunya karena perempuan kurang
memiliki hak dalam pemenuhan kebutuhan seksualnya. Contohnya pasangan seksual
menolak pengguunaan kondom yang dapat melindungi dari penyakit menular seksual.
3. Aborsi
yang tidak aman
WHO
memperkirakan di Asia Tenggara
4,2 juta aborsi
dilakukan setiap tahunnya
dan Indonesia berkontribusi sekitar 750.000 sampai 1,5 juta
kasus. Dari jumlah tersebut 2.500 di antaranya berakhir dengan kematian
(Siswono, 2005).
Frekuensi terjadinya aborsi sangat sulit dihitung
secara akurat karena aborsi buatan sangat sering terjadi tanpa dilaporkan
kecuali jika ada kopmplikasi sehingga perlu dirawat di Rumah sakit. Berdasarkan
perkiraan dari BKKBN, ada 2 juta kasus aborsi yang dilakukan di Indonesia.
Berarti ada 2 juta nyawa melayang dan 2 juta nyawa terancam dengan resiko
perdarahan, infeksi hingga sepsis dan beresiko infertilitas di kemudian hari (www.aborsi.org, 2014).
Utomo dkk (2002)
dalam penelitiannya di 10
kota besar dan
6 kabupaten, menemukan
bahwa pertahun terdapat
2 juta kasus aborsi, atau 37 aborsi per 1000
perempuan usia 15-49 tahun, atau 43 aborsi per 100 kelahiran
hidup, atau 30%
kehamilan. Dari sisi perbandingan
jumlah aborsi di kota dan desa hampir sama. Kasus aborsi di perkotaan dilakukan
secara diam-diam oleh tenaga kesehatan, sebanyak 73 %.
Sedangkan di pedesaan
sebagian besar dilakukan
secara diam-diam oleh dukun,
sebanyak 84%.
Aborsi
yang dilakukan secara
diam-diam inilah yang menempatkan perempuan
harus menanggung resiko
tidak adanya perlindungan pemerintah termasuk
bila terjadi kematian
karena komplikasi perdarahan dan infeksi.
Faktor-faktor
penentu yang mempengaruhi
aborsi terdapat pada
level individu,
keluarga/masyarakat dan negara.
Ketiga level tersebut
memiliki keterkaitan satu sama lain yang tidak dapat dipisahkan. Pengaruh
dari ketiga level tersebut berdampak pada banyaknya praktek aborsi tidak aman
(unsafe abortion) yang
mengakibatkan pada tingginya
AKI di Indonesia.
Selama aborsi dianggap bertentangan dengan
hukum, maka tidak
mungkin diatur pelayanan
aborsi yang aman. Selama tidak
ada aturan mengenai pelayanan aborsi yang aman, maka akan terus terjadi
praktek aborsi secara
diam-diam dan cenderung
tidak aman karena dilakukan tanpa prosedur maupun
standar operasional kesehatan yang jelas yang dapat dijadikan sebagai pedoman.
Dari
sudut pandang moralitas,
aborsi dan kematian
ibu keduanya dipermasalahkan karena
sama-sama mengancam kelangsungan
hidup janin dan ibu.
Namun, perlu didudukkan
dalam proporsinya masing-masing, manakah pilihan yang
lebih bermanfaat dalam
menyelesaikan masalah kesehatan
reproduksi ini. Aborsi tidak harus mengorbankan kehidupan bila masih dalam
taraf kehidupan sel. Tetapi membiarkan praktek aborsi tidak aman lebih
berbahaya karena membiarkan
nyawa perempuan.
Tingginya
angka aborsi tidak
aman di Indonesia
yang diikuti dengan tingginya resiko
kematian ibu hendaknya
tidak dilihat sebagai
sesuatu yang berdiri sendiri,
tetapi dikarenakan berbagai faktor penentu baik di level individu,
keluarga atau masyarakat
maupun negara.
Faktor
penentu pada level
individu antara lain karena
kegagalan alat kontrasepsi,
masalah kesehatan, psikologis, ekonomi dan ketidak tahuan cara
pencegahan kehamilan dengan benar. Pada level keluarga dan
masyarakat, faktor penentunya
antara lain karena
kemiskinan, pengetahuan
anggota keluarga termasuk
suami yang rendah,
pandangan agama yang sempit,
tidak mampu mengakses
pelayanan aborsi yang
aman dan stigma takut
dan malu jika
diketahui orang lain.
Sementara faktor penentu
pada level negara adalah
adanya larangan aborsi
dengan alasan apapun
di Indonesia,
sebagaimana dinyatakan
dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) pasal 346-349 dan Undang-Undang
Kesehatan nomor 23/1992 pasal 15 ayat 1 dan 2 (Jalil, 2010).
Melihat
kenyataan lambatnya penurunan
besaran AKI yang
dapat dianggap sebagai salah
satu petunjuk kurangnya
komitmen pemerintah terhadap kesejahteraan perempuan,
salah satu harapan
yang dapat menurunkan
dengan cepat AKI dan
meningkatkan secara nyata
kesejahteraan perempuan adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian
perempuan itu sendiri. Jika perempuan dapat lebih mandiri memutuskan ingin
melanjutkan atau mengakhiri kehamilan serta mendapat akses pelayanan kesehatan
yang dibutuhkan, angka aborsi beresiko ini dapat ditekan.
4. Kehamilan
yang tidak dikehendaki
Seperti
bahasan sebelumnya, kehamilan yang tidak diinginkan menjadi penyumbang
angka aborsi tidak aman terbesar. Selain reesiko aborsi, keehamilan yang tidak
diinginkan berakibat pada rendahnya kualitas sumber daya manusia yang
dilahirkan seorang perempuan. Solusi permasalahan ini terletak pada peningkatan
akses informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi seorang perempuan, sehingga
ia dapat memutuskan kapan saat terbaik untuk memiliki anak.
5. Praktik
kesehatan yang merugikan seperti sunat
pada wanita
Di dunia internasional, sunat perempuan
disebut-sebut sebagai praktik yang melanggar hak asasi manusia. Di Indonesia,
sunat perempuan pernah dilarang pada tahun 2006, akan tetapi baru-baru ini
menjadi kontroversi kembali dengan keluarnya Permenkes RI No. 1636 yang
berisikan panduan bagi tenaga medis untuk melakukan sunat perempuan. Kajian
mengenai sunat perempuan memerlukan telaah lebih lanjut. Namun hal penting
terkait pemberdayaan perempuan yang ingin diangkat dalam hal ini adalah
sepatutnya seorang perempuan terutama ibu mendapatkan informasi yang benar mengenai
sunat perempuan dalam pandangan medis dan tinjauan agama/budaya sehingga dapat
memutuskan hal terbaik untuk dirinya sendiri atau anak perempuannya.
6. Diskriminasi
gizi pada wanita
Kesehatan ibu merupakan hal penting karena ibu yang
sehat akan melahirkan anak yang sehat pula. Namun terkadang perempuan terbentur
dengan pandangan sosial budaya yang masih mempercayai pantangan terhadap
makanan, atau sikap mendahulukan kepentingan gizi kepala keluarga dibanding
perempuan atau ibu (Khasanah, 2010).
7. Pernikahan
usia dini
Salah satu permasalahan pemberdayaan perempuan
adalah perempuan tidak memiliki hak menentukan keputusan reproduksi yaitu menikah. Keputusan ini seringkali
berada ditangan orang tua.
Cholil (1996) yang dikutip Jalil (2010) melihat
ada empat hal
pokok dalam mengkaji kesehatan reproduksi seorang perempuan.
Hal-hal ini antara lain:
1. Kesehatan reproduksi
dan seksual (reproductive and
sexual health);
2. Penentuan dalam keputusan reproduksi (reproductive decision making);
3. Kesetaraan
laki-laki dan perempuan (equality and equity for men and
women); dan
4.
Keamanan reproduksi dan
seksual (sexual and reproductive security).
Dari permasalahan
di atas maka
perlu dilakukan perubahan
dan pendekatan dalam menangani
masalah kebijakan dalam
bidang kesehatan reproduksi ini
diantaranya :
1. Peningkatan
kondisi kesehatan perempuan dan peningkatan kesempatan kerja
Hal ini dilakukan
dalam upaya untuk
meningkatkan usia kawin
dan melahirkan, sehingga resiko selama kehamilan akan menurun.
2. Pendekatan
target pada program KB harus disertai dengan adanya tenaga dan peralatan medis
yang cukup. Hal ini untuk mencegah
terjadinya mal praktek karena keinginan
untuk mencapai target.
3. Peningkatan partisipasi
laki-laki dalam menurunkan
angka kelahiran.
Tidak
hanya perempuan yang dituntut untuk mencegah kehamilan, tetapi juga laki-laki,
karena pada saat ini sudah tersedia beberapa alat kontrasepsi untuk laki-laki.
4. Penyadaran akan
kesetaraan dalam menentukan
hubungan seksual dengan laki-laki.
Penyadaran bahwa perempuan
berhak menolak berhubungan
seksual dengan laki-laki, meskipun laki-laki tersebut suaminya, bila hal
itu membahayakan kesehatan
reproduksinya (misalnya laki-laki tersebut mengidap HIV/AIDS).
5. Penyuluhan tentang
jenis, guna, dan
resiko penggunaan alat
kontrasepsi
Baik alat
kontrasepsi modern maupun
tradisional perlu diperkenalkan
kegunaan dan resikonya kepada
perempuan. Dengan demikian
perempuan dapat menentukan alat
kontrasepsi mana yang terbaik untuk dirinya.
6. Penyuluhan
tentang HIV/AIDS dan PMS (penyakit menular seksual) kepada perempuan.
7. Pendidikan
seks pada remaja perempuan dan laki-laki.
Kebijakan kesehatan
yang menghormati hak
perempuan atas tubuhnya, dalam jangka panjang akan
memberikan kontribusi yang nyata
dalam mengatasi masalah kependudukan,
dengan resiko yang jauh lebih kecil dibanding kebijakan kependudukan
menggunakan kontrasepsi modern (Jalil, 2010)
SIMPULAN
Peningkatan pemberdayaan perempuan
terutama dalam bidang kesehatan dan kesehatan reproduksi menjadi sangat
diperlukan karena peran perempuan dalam kesehatan sangat vital terutama dalam
mendukung kesehatan anakdan keluarga pada umumnya. Perempuan memiliki fungsi
penyedia kesehatan (health provider)
bagi anggota keluarga, dan sebagai agen sosialisasi nilai-nilai hidup sehat.
Perempuan dengan kondisi kesehatan reproduksi yang baik akan berdampak pada
kualitas kehamilan dan kelahiran yang baik (aman) dan juga akan dapat
melahirkan seorang bayi yang sehat sehingga akan lahirlah generasi baru yang
sehat dan menjadi aset pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Fatimaningsih, Endry.
2008. Analisis Situasi Dan Kondisi
Perempuan Dalam Perspektif Gender Di Kabupaten Lampung Tengah . Seminar Hasil
Penelitian & Pengabdian kepada Masyarakat Unila. 75-81
http://Terbitan.litbang.depkes.go.id/Laporan
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2007) (diakses 20 Maret 2014)
Jalil, Dkk. 2010. Perempuan Dan Kesehatan Reproduksi
Nur khasanah, 2010 . Dampak persepsi budaya terhadap kesehatan
reproduksi ibu dan anak di Indonesia. Jurnal
Muwazah
Prahastiwi, Utari. 2011.
Studi Eksperimen Film ‘Pertaruhan’
terhadap Pemahaman Keamanan Kesehatan Reproduksi di Kalangan Mahasiswi Prodi
Ilmu Komunikasi. Jurnal Semai Komunikasi. I:93-109
Saptandari,
Pinky, 2010. Lima Tingkat Pemberdayaan
Perempuan, Jurnal
Masyarakat dan Kebudayaan Politik .Universitas Airlangga Surabaya.
12:22-38
Siswono,
2005. Hari Kartini, Kesehatan Reproduksi Perempuan, dan Amandemen
UU
Kesehatan. http://www.kompas.co.id (diakses 20 Maret 2014)
Yanti , NH, 2011. Pengaruh Budaya Akseptor KB terhadap
Penggunaan Kontrasepsi IUD di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Skripsi. Universitas Sumatera
Utara.Medan.
DAFTAR SINGKATAN
AKI Angka Kematian Ibu
AIDS Acute Immuno
Deficiency Syndrome
CEDAW Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women)
HIV Human Immunodeficiency
Syndrome
KB Keluarga Berencana
MDGs Millenium Development
Goals
PBB Perserikatan
Bangsa-Bangsa
PUS Pasangan Usia Subur
PMS Penyakit Menular
Seksual
SDKI Survei Demografi dan
Kependudukan Indonesia